(1) Hipotesis Varian Shanghai
Ketika C*vid pertama kali muncul Desember 2019,
dengan cepat China melakukan lockdown, lalu dengan cepat pula memproduksi
vaksinnya, mengekspornya ke seluruh dunia. Alat pengetesan pun mereka yang
suplai. Masker pun demikian. Bulan Maret 2020, kasus C*vid pertama ditemukan di
Indonesia.
Kondisi ini memunculkan 2 jenis respon:
1. Mengakui bahwa China adalah korban, tapi karena
industrinya sedemikian canggih, apapun kondisinya, bisnis tetap jalan. Boleh
ada krisis, jatuh sebentar, lalu dengan segera cari solusi dan dijadikan sumber
bisnis. Vaksin C*vid pertama dibuat oleh China karena menggunakan teknologi
konvensional, yaitu berbasis v*rus utuh yang dimatikan (inactivated). Ini
berbeda dengan vaksin teknologi baru yang dipakai Pfiz*r, M*derna, Astrazene*a.
Semakin hari, semakin terbukti bahwa vaksin yang
paling aman adalah yang berbasis v*rus utuh, karena apapun varian yang muncul,
vaksin v*rus utuh akan bisa mengatasi; berbeda dengan vaksin lain yang berbasis
protein S sintetis (2% dari tubuh vir*s keseluruhan). Dan karena berisi
potongan 2%, protein S ini “ditumpangkan” pada sesuatu yang lain, misalnya,
pada vir*s hidup Adenovir*s. Aneh? Ya aneh. Vaksin untuk melawan C*vid, tapi
isinya potongan 2% v*rus C*vid (itupun sintetis), lalu dibarengkan dengan adenovir*s.
Silakan google, akhir-akhir ini banyak muncul penyakit hepatitis, dan cek,
penyebabnya apa.
2. Menyusun teori konspirasi: pasti plandemit ini
didesain oleh China (bersama para “dajjal” lainnya), buktinya yang untung besar
tetap China. Tapi yang jelas, ada data, perusahaan yang untung besar dari
vaksin adalah Pfizer, BioNTech, dan Moderna; mereka menghasilkan keuntungan
$1.000 setiap detiknya (tidak salah ketik, memang DETIK). [1]
Yang jelas, pemerintah China terus melawan tuduhan
bahwa merekalah yang bersalah (tuduhan ini juga dilemparkan pemerintah AS),
bahkan mencurigai bahwa sebenarnya di AS-lah yang bikin gara-gara. China
menuntut AS membuka data soal biolabnya yang tersebar di berbagai negara.
Setelah Rusia melakukan operasi militer di Ukraina dan menemukan 30 biolab AS,
China kembali bersuara keras, meminta PBB agar mengusut biolab ini Tapi PBB kan
didominasi AS, jadi tuntutan China diabaikan.
Tiba-tiba, ketika dunia sudah melonggarkan
pengetatan; ketika berbagai negara tidak lagi menetapkan syarat pcr dan vaksin;
ketika dunia sudah mulai “bebas”, sekitar 11 Maret 2022, kembali lockdown
ketat, di Shanghai dan kota-kota sekitarnya. Beijing dikabarkan akan menyusul
dilockdown.
Respon dunia? Ada yang mengecam China, ngapain
masih curiga sama C*vid, kan sudah terbukti C*vid semakin melemah? Ada yang
tetap pakai teori konspirasi, “China ingin memperpanjang pandemi, biar jualan
vaksinnya laku!”
Tapi ada segelintir orang di Indonesia yang
merespon berbeda: mereka mempelajari situasi ini dengan berbasis sains
(virologi). Saya akan ceritakan sedikit apa yang saya pelajari dari guru saya.
**
Asumsi dasarnya: tidak mungkin China melakukan
lockdown sangat ketat kalau yang dihadapi “hanya” sub-varian omicron (seperti
yang diberitakan media Barat dkk). Pasti ada sesuatu yang serius, tapi apakah
itu? China belum membukanya ke publik. Satu-satunya info yang didapat dari
media China, “varian ini tidak ditemukan dalam literatur GISAID sebelumnya.”
Artinya, ini benar-benar varian baru.
Yang harus dipahami:
-Apa itu varian? Varian adalah perubahan 2% saja
dari varian awal. (Varian awal adalah varian Wuhan).
-Setiap v*rus hanya akan menempel pada reseptor
yang spesifik. [Catat: coronavir*s itu bukan hanya C*vid. C*vid adalah salah
satu jenis dari coronavir*s]
Coronavir*s punya 4 reseptor di manusia:
• ACE2: lokasinya ada di paru-paru, jantung,
ginjal, ileum (usus halus). C*vid varian Wuhan menempel di reseptor ini.
Artinya, C*vid varian Wuhan hanya akan menginfeksi di 4 lokasi ini. Kalau
vir*snya sekedar menempel di hidung, belum tentu kita jadi sakit. Kalau kita
cuci hidung dengan air garam nonyodium, vir*snya lepas, dan kita ga akan sakit
(tidak terinfeksi).
• APN: lokasinya ada di paru-paru. C*vid varian
Delta menempel di APN ini.
• CEACAM1: lokasinya di saluran pencernaan (usus),
hati. Varian Omicron menempel di CEACAM1 ini sehingga orang-orang yang kena
Omicron diketahui mengalami diare juga.
Adenovir*s (yang dimasukkan ke dalam vaksin C*vid
merk AZ) juga reseptornya di sini, makanya tadi sudah disebut, akhir-akhir ini
angka hepatitis meningkat.
• DPP4 ....??? (jawaban ada di bawah)
[Ketika vir*snya sama, yaitu C*vid, seharusnya
reseptor tidak berubah. Yang sedang terjadi: sama-sama C*vid, tapi ada
perubahan reseptor. Perubahan ini tidak bisa terjadi secara ALAMI. Harus
diutak-atik di lab. Ketika 3 reseptor lain sudah “dipakai”, berarti, masih sisa
1 reseptor, yaitu DPP4.]
Hipotesis Varian Shanghai:
1. C*vid Shanghai ini akan menempel di reseptor
DPP4
2. DPP4 berada di pankreas, usus, paru-paru, otak,
dan HIDUNG. Ini poin pentingnya: 3 varian lain tidak punya reseptor di hidung.
Tapi DPP4 ada di hidung.
Artinya: konsep “terpapar” & “terinfeksi”
tidak bisa lagi dipakai di kasus ini. Saat varian Shanghai menempel di hidung,
ia akan langsung menginfeksi manusia (kalau 3 varian lainnya, jika menempel di
hidung belum tentu menginfeksi).
SOLUSI
Memang ini masih hipotesis, tapi kan berbasis
sains virologi. Bila Anda percaya, silakan lakukan dua SOLUSI (yang dirumuskan
oleh guru saya) mulai dari sekarang:
A. Rutin cuci hidung dengan air garam nonyodium
yang direbus dengan daun sirih (agar ada zat saponin/“sabun” di dalamnya).
B. Mengkonsumsi formula xxx x xxx (klik link di
bawah).
[Mereka yang divaksin dengan vaksin berbasis vir*s
utuh relatif lebih aman karena varian Shanghai ini masih sama-sama vir*s cvd,
varian adalah perubahan di 2%, Cuma masalahnya yang 2% ini sepertinya,
“dimainkan”).
Demikian.
Sekali lagi, saya memang bukan ahli vir*s, tapi
saya BELAJAR dari seorang virolog. Saya menyampaikan karena rasa sayang pada
saudara-saudara sebangsa saya. Kalau tidak suka, abaikan saja.
---
#########################
(2) Hepatitis Akut, Wabah Berikutnya?
WHO dan Kemenkes akhir April 2022 sudah
mengeluarkan peringatan mengenai penyakit "hepatitis akut misterius".
The Independent (media Inggris) kemarin (4 Mei) merilis berita mengutip Lord
Gates "there is still a risk of a C*vid variant that is ‘even more
transmissive and even more fatal" (masih ada risiko varian C*vid yang
'lebih menular dan bahkan lebih fatal).
Silakan membaca dulu tulisan saya sebelumnya
"Hipotesis Varian Shanghai," agar bisa lebih paham. Berdasar
hipotesis ini, reseptor varian Shanghai ini merusak kinerja pankreas dan hati
(liver). Sementara itu, hepatitis merupakan kondisi peradangan hati (liver). Di
web resmi WHO ditulis, “Sementara adenov*rus adalah hipotesis yang mungkin,
penyelidikan sedang berlangsung untuk menemukan agen penyebabnya.”
Lalu, mari kita ingat, secara hampir serempak di
dunia dienjuskan vaksin AZ yang mengandung adenov*rus simpanse yang live
(hidup), disebut Chadox, artinya: chimpanzee (Ch) adenov*rus-vectored vaccine
(Ad), yang dikembangkan oleh University of Oxford (Ox), Inggris.
Menurut klaim pembuatnya (dan para endorsernya):
adenov*rus itu dimodifikasi untuk menghindari replikasi (perbanyakan di dalam
tubuh) sehingga aman ketika dienjuskan ke tubuh manusia.
Yang perlu dicatat:
1. Ada “modifikasi” pada adenov*rus ini (artinya,
Chadox adalah “buatan” manusia, atau v*rus mutan). Ini sama seperti varian
Shanghai, ada tangan manusia yang memainkan v*rusnya (baca “Hipotesis Varian
Shanghai”).
2. Apa benar Chadox tidak bereplikasi dalam tubuh
manusia?
Seorang virolog Indonesia, berinisial MIC, anak
bangsa yang sangat nasionalis, yang mau berpayah-payah meneliti c*vid sejak
2020, mempertanyakan:
Kalau tidak bereplikasi, bagaimana v*rus mutan chadox
bisa diperbanyak untuk dijadikan vaksin? Karena, v*rus itu DITUMBUHKAN di sel
HEK 293 (Human Embryonic Kidney) agar bisa diperbanyak dan dibuat vaksin. Nah,
apa yang akan terjadi jika v*rus mutan chadox disuntikkan ke manusia, atau ibu
hamil yang punya embrio anak di dalam tubuhnya?
Berbekal hipotesis ini, MIC menyuntikkan vaksin AZ
ke kelinci lalu dinekropsi 3 minggu kemudian, hasil yang ditemukan: kelinci
méngalami hepatitis parah, pneumonia, dan radang di organ reproduksi.
Riset ini dilakukan bulan Mei 2021. Dengan
demikian, Pak MIC sudah jauh-jauh hari bicara ke publik : pilihlah vaksin yang
aman, semua vaksin TIDAK sama. Hasilnya? Baik beliau sendiri, maupun kami-kami
yang menyebarkan info ini, disebut hoax dan dibully "ooh.. ini info dari
dokter hewan itu ya?" (dengan nada mengejek).
Pak MIC kemudian bekerja sama dengan rekannya, dr.
SA. Pak dokter SA menemukan formula herbal untuk menanggulangi KIPI akibat
Chadox ini, yaitu formula satu tiga satu.
Tapi, seiring dengan potensi mewabahnya C*vid varian
Shanghai, sangat mungkin terjadi double infection dengan Chadox, sehingga
formula herbal yang awal tidak akan mempan lagi. Pak dr. SA sudah merumuskan
formula baru, xxx x xxx, disebarkan gratis, bisa dibuat dengan murah oleh
rakyat.
Terakhir, dengan merebaknya hepatitis akut ini,
saya pikir mereka yang berkata "jangan pilih-pilih vaksin, semua vaksin
sama saja," perlu berpikir ulang dan berendah hati untuk belajar soal
virologi, imunologi, dan vaksinologi, supaya tidak mudah dibohongi para
"pakar" dan media. Masyarakat pun, harus aktif belajar, demi
melindungi diri dan keluarga.
#########################
(3) Apa Ikhtiar yang Bisa Kita Lakukan?
---ini tulisan bagian ke-3, sebaiknya baca dulu
1 dan 2 biar lebih paham---
Orang-orang bergelar tinggi di bidang medis
dengan cepat berdalih di media: “tidak ada kaitan antara merebaknya kasus
hepatitis akut dengan vaksinasi c*vid-19.”
Argumen mereka konyol sekali, “Karena, para
korban kan anak-anak yang belum divaksin c*vid.”
Mengapa konyol? Karena, mereka melupakan apa
yang disebut SHEDDING (penyebaran virus ke lingkungan).
WHO sudah mengemukakan hipotesis: hepatitis
akut ini disebabkan adenov*rus. Tapi,
mengapa bisa menyebar cepat ke berbagai negara di Eropa, lalu sampai juga ke
Indonesia?
Salah satu kemungkinan kuatnya: menyebar lewat
vaksin karena ada vaksin-vaksin yang mengandung adenov*rus hidup. Salah
satunya, merk AZ.
Adenov*rus live mutan (Chadox) yang dimasukkan
ke vaksin AZ itu bereplikasi (kalau ada yang mengatakan Chadox tidak
bereplikasi, coba tanyakan ke dia, dengan cara apa virus mutan Chadox itu
diperbanyak untuk dijadikan vaksin?)
Karena v*rus Chadox-nya (yang ada di vaksin AZ)
adalah v*rus hidup, ia pasti akan bereplikasi dan menimbulkan sakit. Tapi,
karena adenov*rus ini virus yang tidak beramplop -beda dengan coronavirus- proses
penularan dan kemunculan sakitnya memakan waktu lebih lama.
Ketika seseorang sakit akibat replikasi v*rus
dalam tubuhnya, pasti akan terjadi SHEDDING.
Misal, kita sakit flu, kita akan bersin, atau batuk, nah saat itulah
v*rusnya shedding (menyebar). Untuk hepatitis, shedding ke lingkungan antara
lain melalui feses, muntah, urin.
Jadi, karena ada SHEDDING ini, yang beresiko
terkena hepatitis akut ini bukan cuma anak-anak dan bukan cuma mereka yang
sudah divaksin AZ.
Itulah sebabnya, yang dipersoalkan seharusnya
bukan “sudah divaksin atau belum” TAPI MENGAPA SEJAK AWAL TIDAK DITELITI DULU?
Bukankah vaksin tsb bisa disuntikkan dulu ke kelinci/tikus, lalu cek, apa benar
Chadox-nya tidak bereplikasi seperti kata pabriknya? Mengapa klaim dari pabrik
diterima begitu saja?
(Baca tulisan saya sebelumnya, virolog MIC
sudah meneliti dan menyuntikkan AZ ke kelinci dan memang si kelinci kena
hepatitis parah, pneumonia, dan radang di organ reproduksi. Info tambahan:
catet "organ reproduksi" ---> coba cek, apakah ada bapak-bapak
yang kesulitan "anu" setelah divaksin AZ? )
Tapi... yang sudah terjadi, ya mau diapakan
lagi, sudah lewat. Tinggal tunggu saja, mereka yang bertanggung jawab (yang
seharusnya meneliti dan melindungi rakyat) pasti akan menerima karmanya.
Yang penting ke depannya: rakyat harus belajar
dan mandiri, perhatikan apa yang akan dimasukkan ke tubuh, pilih yang aman,
jangan percaya begitu saja pada apa kata pabrik.
Yang penting, sekarang: APA SOLUSINYA?
Source:
t.ly/VY_z