UN+DO (atawa) UNDO
Memaksakan ujian nasional untuk memacu motivasi siswa malah bisa memukul balik.
Masalah ujian nasional adalah isu kompleks yang tidak bisa disederhanakan menjadi pilihan pro atau kontra secara apriori semata. Sangat penting untuk membuka ruang diskusi yang mempertimbangkan beragam sudut pandang. Apalagi, hal ini menyangkut pemerintahan dan anggaran yang luar biasa besar. Juga energi nasional yang sudah dikeluarkan, khususnya oleh rakyat, dan yang paling penting adalah keberpihakan kepada peserta didik.
Jangan sampai perubahan kebijakan yang sudah diambil dalam satu periode pemerintahan selama lima tahun sebelumnya dimentahkan begitu saja, seolah ini hanya pertandingan kepintaran dan kekuasaan.
Soal penghilangan ujian nasional sesungguhnya sudah menjadi pembicaraan sejak 20 tahunan lalu. Saat itu, 8 Maret 2004, saya sudah menulis di Kompas tentang soal ini.
Bahkan, setahu saya, kalau saja bukan karena pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla waktu itu, pada periode Pak Anies Rasyid Baswedan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ujian nasional sudah akan dihilangkan.
Model ujian nasional
Di berbagai negara maju, penghilangan sistem evaluasi model ujian nasional juga sudah lama dilakukan. Bukan hanya di Finlandia, melainkan hampir di semua negara Eropa dan Amerika Serikat. Meski selalu saja di sana-sini ada yang menyebal dari kebijaksanaan ini.
Dengan mengatakan ini, saya tak mengatakan bahwa kita harus mengekor mereka. Pak Jusuf Kalla benar ketika, misalnya, ia mengatakan bahwa kondisi kita beda dengan Finlandia. Namun, pertimbangan mereka juga patut menjadi pertimbangan kita, khususnya terkait dengan ekses ujian nasional.
Jika membincangkan ujian nasional, kita perlu sangat spesifik. Iya, ujian nasional adalah ujian terstandardisasi. Namun, asesmen terstandarsisasi itu bisa mengambil bentuk berbagai macam. Bisa yang dilakukan pemerintah dan menentukan kelulusan siswa.
Ada yang dilakukan pemerintah, tetapi tidak menentukan kelulusan dan lebih untuk pemetaan kualitas pendidikan. Ada juga yang dilakukan oleh pusat asesmen yang diakui untuk pertimbangan masuk ke perguruan tinggi dan sebagainya.
Di Indonesia, pada masa kabinet sebelum ini, selain ada asesmen nasional (AN) untuk pemetaan kualitas sistem pendidikan, ada juga ujian tulis berbasis komputer (UTBK) bagi lulusan kelas XII yang hasilnya digunakan untuk seleksi nasional berbasis tes (SNBT) di perguruan tinggi negeri. Tentu saja juga ada ujian sekolah, yang menguji seluruh subyek yang diajarkan.
Belum lagi jika kita pertimbangkan unsur kepantasan (appropriateness) dari bahan-bahan ujian nasional. Bisa saja, sama-sama disebut ujian nasional, sama-sama dilakukan pemerintah, sama-sama menentukan kelulusan, tetapi bahan yang diujikan tak sesuai dengan tujuan, sasaran, dan kompetensi yang ditetapkan sebagai acuan proses belajar-mengajar.
Inapropriasi tersebut bisa dalam hal bahan ujian secara umum atau menguji hanya sebagian dari tujuan, sasaran, dan kompetensi yang ditetapkan. Bukan saja hal itu bisa menyebabkan arah pendidikan terselewengkan, melainkan juga bisa menimbulkan ketidakadilan.
Termasuk, lebih mementingkan suatu subyek belajar dan mengabaikan subyek yang lain sehingga satu subyek dirasa perlu dujikan, sedangkan yang lain tidak.
Padahal, tentu kenyataan bahwa suatu subyek dipilih untuk diajarkan berarti bahwa subyek itu juga penting. Seolah sebagian subyek dalam kurikulum tidak penting. Misal, seorang anak yang baik karakternya—baik performa maupun karakter moral, sebagaimana diajarkan dalam pelajaran agama, atau PPKn, dan yang lain—dianggap tidak layak lulus atau diterima di perguruan tinggi jika matematikanya kurang.
Juga anak yang jago olahraga atau seni? Apa dasar pembenarannya?
Belum lagi banyak waktu dikorbankan sekolah demi mengejar kemampuan subyek yang dujikan sehingga mengorbankan subyek yang tak dujikan.
Pada kenyataannya, bukankah sering kali yang lebih menentukan keberhasilan seorang peserta didik adalah karakter–yang lebih relevan dengan keterampilan-keterampilam yang dibutuhkan pada abad ke-21 (21st century skills) ketimbang keutamaan pada bidang keterampilan-keterampilan tradisional.
Apalagi kalau kita libatkan persoalan kemampuan imajinatif dan kesehatan (badan dan mental) peserta didik, yang juga merupakan tantangan besar pendidikan di zaman ini.
Belum lagi soal keimanan dan ketakwaan, dan sebagainya. Sikap terbaik, menurut saya, adalah mempertimbangkan semua faktor, lalu mencari solusi yang optimum dalam segala kerumitan interaksi di antara banyak faktor tadi.
Menurut Undang-Undang Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), tujuan pendidikan nasional adalah melahirkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dengan demikian, ujian nasional seharusnya (1) tidak boleh bertentangan atau kurang dari mencapai semua tujuan pendidikan, dengan sebaik-baiknya, (2) bahan evaluasinya juga harus appropriate terhadap apa yang hendak diukur, (3) metode pengukurannya harus sesuai dengan sasaran capaian pembelajaran, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Tak perlu tergesa-gesa
Akhirnya, mari kita diskusikan, apakah benar ujian nasional adalah satu-satunya cara untuk memotivasi siswa? Tidak adakah alternatif lain? Bukankah menjadikan anak cinta–bukan terpaksa–belajar adalah salah satu tujuan utama pendidikan (menurut UNESCO). Maka, harus dicari cara memotivasi siswa tanpa mengorbankan bagian tujuan yang lain.
Memaksakan ujian nasional untuk memacu motivasi siswa malah bisa memukul balik, termasuk menciptakan stres siswa yang tidak perlu, khususnya trauma terhadap belajar yang justru akan menghalangi keniscayaan life long learning. Plus moral hazards dalam bentuk kebocoran/pembocoran soal UN, jual beli jawaban, dan sebagainya, yang efeknya bisa sangat buruk dan bertentangan dengan tujuan dasar pendidikan.
Dengan demikian, tampaknya keputusan tentang pengembalian ujian nasional tidak perlu diambil dengan tergesa-gesa karena hal ini memang memerlukan kejernihan, karena kompleksitas persoalannya dan besarnya dampak bagi masa depan peserta didik.
Hal ini bisa dilakukan sembari, secara simultan, terus menguatkan dan meningkatkan kualitas asesmen nasional yang memetakan kualitas sistem pendidikan nasional, serta menguatkan dan memperbaiki kualitas asesmen formatif dan sumatif (termasuk, tentunya, ujian sekolah) untuk memotret kualitas hasil belajar peserta didik secara individu, plus terus memperbaiki UTBK yang juga bisa menjadi ukuran.
Memang, tak akan pernah ada jalan pintas untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat yang begini kompleks di negeri sebesar dan seberagam Indonesia.
* * * *
sumber: https://www.kompas.id/artikel/memandang-ujian-nasional-dengan-jernih
