Bisikan Langit (Sunan Bonang)
📚 Bentara Budaya
DAN SUNANG BONANG BERTUTUR PADA WUJIL YANG MERINDUKAN PARA WALI
SUCI..."WUWUSING NAYAKA DIPANINGRAT SATUHU LAKU PAGUROKENA DEN NYATA ING
SIRA SANG KAWI MAN SAMPURNENG JATI"
"Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusuk, maka
tetap persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan, karena Allah
dengan rahmatnya tetap menerima mata uang palsumu"
(Maulana Jalaluddin Rummi)
Kata penutup doa Munajat sya'baniyah ulama sholihin abad-21 (sayyidul qoid~ Waliyul
amr muslimin hf) membawa pada kisah
Suluk Wujil. Sebuah kisah yang disusun dengan bahasa Jawa madya, dengan metrum
puitika bergaya tembang Aswalalita dan Dandanggula.
Dengarkan keluhan Wujil yang dikisahkan oleh Sunan Bonang, dalam naskah yang oleh
Javanolog Belanda, Schrieke, disebut
dengan "Het Boek van Bonang," sebuah naskah yang rampung disusun
Sunan Bonang pada tahun sengkalan "Panerus Tinggal Tataning Nabi"
(1529 saka atau 1607 M) itu;
"Sadasa warsa sira pun Wujil, angastu pada sang
adinira, tan antuk wara ndikane... mangke atur bendu, sawitnya nedha jinarwan,
sapratingkahing agama Islam kang sinelir, teka hing rahsa purba... sampun manuh
pamuruk, sastra Arab paduka warti, wekasane angladrang, anggeng among kayun,
sabran dina raraketan..."
[Sepuluh tahun sudah saya berguru kepada (njeng Sunan
Bonang), akan tetapi saya belum mendapatkan ajaran yang diharapankan. sebelumnya, saya, Wujil,
memohon maaf kepada Njeng Sunan Bonang atas tindakan yang mengharapkan ajaran
tentang rahasia kedalaman agama Islam
yang sedalam-dalamnya tersebut. Telah tamat ajaran Guru dalam penguasaan
bahasa arab (bahasa dari Al Quran),
namun masih juga saya harus mencari-cari, mengembara mengikuti kehendak
hati untuk menemukan yang sejati...]
Wujil ini bukanlah orang sembarangan, ia menjelaskan siapa
dirinya...
[Aku, Wujil, berasal dari Majapahit, dahulu aku bekerja di
lingkungan kerajaan Majapahit, dengan pekerjaan yang linier dengan kompetensiku
dalam bidang Sastra Jawa Kuno...]
Tetapi dengan kemampuan penguasaan pada sastra Arab dan
Sastra Jawa itu wujil belum sanggup memasuki dimensi terdalam agama Islam,
..."sapratingkahing, agama kang sinelir, teka ing rahsa purba"... begitu
kata Wujil.
Menurut Bahusastrajawi karya Poerwodarminto,
"Wujil" itu berarti "cebol, bajang, wol, wula, pandhak" yang kesemuanya bermakna
si Cebol. Tetapi Wujil sendiri
menerangkan makna namanya bukan berarti "Cebol" kepada Santri Putri
Murid Sunan Bonang, yang bernama Sadpada.
"Hih ra Wujil aja salah tampa, Ki Wujil sun atataken, punapa marganipun,
oleh aran para Ki Wujil ?"
[Satpada bertanya, "Maafkan daku Wujil, bolehkah daku
bertanya, mengapa engkau bernama Wujil ?"]
Dan Wujil pun menjawab;
"Karane isun arane Wujil, nenggih kang aran klawan rupa, data ana prabedane, tan amindhoni laku, nem prakara rasaning jati, pan wus kajalajahan"
[Mengapa aku bernama Wujil,
sesungguhnya antara nama dan bentuk yang digambarkan nama tersebut yang
berarti "cebol" atau pendek
tak ada bedanya, aku telah menjelejahi enam kebenaran dan tidak
berhenti di tengah jalan, namun aku
tetap saja tak sanggup meraih ketinggian atas enam kebenaran sejati itu]
Jawaban Wujil atas pertanyaan makna namanya itu mewakili
segala keluhan yang disampaikan kepada njeng Sunan Bonang.
Apakah yang enam yang tak terjangkau kedalamanya oleh Wujil
itu tak dijelaskan...
Wujil hanya menyebut ;
"Jarwaning wisik aksara tunggal, pangiwa lan panengenen, nora na bedane, dene maksih atata gendhing, maksih ucap-ucapan"
[Penjelasan mengenai ajaran rahasia tentang kesatuan huruf
baik dimasa sebelum kedatang Islam dan sesudah kedatangan Islam masih tetaplah
sama, sebagian orang memang sudah mengetahaui hubungan antara suara dan nada,
tetapi keduanya tetap hanya dalam kata teori belaka]
Dan Wujil melanjutkan
"Ya marma lunga ngikis hing wengi, angulati
sarahsyaning tunggal, sampurnaning lampah kabeh, sing pandhita sun dunung,
angulati sarining urip, wekasing Jati Wenang, Wekasing lor kidul, suruping
raditya wulan, reming neta kalawan suruping pati, wekasing ana ora"
[Karena sesungguhnya, pada suatu malam aku pergi diam-diam
mencari rahasia dari kesatuan antara (Sastra (Al Quran)) dengan kesempurnaan
dalam (Gendhing) semua tingkah laku. Saya menemyu tiap-tiap orang yang dianggap
suci untuk mencari hakekat itu, titik akhir dari sebuah kekuasan yang
sesungguhnya yang berasal dari kesatuan
antara sastra Al Quran dan Gendhing Al Quran Yang Hidup, titik akhir dari utara
dan timur, terbenamnya matahari dan rembulan untuk selama-lamanya, tertutupnya
mata dan hakekat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari yang ada
dan yang tiada]
Dan kegelisahan Wujil sang cendikiawan Majapahit itu adalah
pencarian pada "Sastra Jendra" (Al Quran yang tertulis) dengan
"Sastra Nyata" (Al Quran yang hidup)
Usai mengurai tentang prasyarat untuk dapat berjumpa dengan
sang nada Gending (Sastra Nyata) dari Sastra Jendra dengan kedalam hampir dua puluh Pupuh.
Kanjeng Sunan Bonang memberikan petunjuk
bukan jawaban dan Wujil harus menemukannya ;
"Tan kena pinaido ra wujil, wuwusing Nayaka
Dipaningrat, Wujil atakena mangke, ana muji ing ndalu, ing rahina gung
sawabneki, kalamun kena tata, ing sasaminipun, pada lan rowelas warsa, yogya
wenang ra Wujil ataki-taki, sampun tan kapanggiha..."
[Duhai Wujil, tidaklah mungkin untuk menghindari sabda dari
Pemimpin Cahaya Dunia (Dipaningrat) Rasulullah Muhammad saw, dan engkau
bertanya tentang hal tersebut, ketahuilah Wujil, ada orang-orang yang
bersembahyang pada malam hari dan siang hari, dan sembahyang itu dilakukan
menurut kaidah dan sembahyang itu sangat besar pengaruhnya bagi mereka,
sembayang yang semacam itu adalah shalat lahir selama dua belas warsa, aku
(Bonang Gurumu) sangat berharap engkau dapat mengikuti dan berusaha keras
sekuat tenaga untuk menemukannya...]
Kanjeng Sunan Bonang melanjutkan...
[Ketahuilah olehmu wahai Wujil, terdapat orang-orang yang
sedemikian berbakti pada kemanusiaan usai menjalankan sholatnya, yang
kebaktiannya pada kemanusiaan itu begitu memberkati, jika engkau perhatikan
dengan baik, orang-orang ini adalah hakekatnya para ahli tafakur dalam shalat
lahir dua belas tangsu...]
Dan Sunan Bonang kembali hanya memberi tanda tentang yang
dirindukan oleh si Wujil Intelektual Majapahit yang tandas dalam Sastra Jawa
dan Sastra Arab serta telah menempuh enam Jalan Kesejatian... beliau Sunan
Bonang bertutur...
"Tekeng purisa turas, satuhuning laku, pagurokena
den nyata, hing sira Sang Kawi Man Sampurneng Jati, wekasing Duta Tama"...
[Duhai Wujil, maka berusahalah engkau untuk mendapatkan
ajaran yang jelas dan sejelas-jelasana kepada mereka(yang aku, Bonang, namakan
dengan) "Para Sastra Ing Kawi yang membawa pemahaman kesempurnaan
sejati", mereka adalah orang-orang yang mengetahui benar-benar tentang
kebenaran yang diajarkaj oleh Sang Utusan Utama (Duta Tama) Rasulullah Muhammad
saw"]
Sunan Bonang, dalam Suluk Wujil itu memberi nama Jawa kepada
Rasulullah Saw dengan dua sebutan nama, yakni, "Dipaningrat" dan
"Dutatama." serta menamai mereka yang memahami dan mengerti kebenaran
ajaran Rasulullah Muhammad saw dengan "Kawi Man. Sampurneng Jati"...
Mereka adalah manusia-manusia yang mengejawantahkan Shalat kedalam Sembahyang atau Sholat lahir. Dalam khasanah Jawa seperti "Suluk Garwa Kencana, Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Centhini Suluk Tambang Raras, Serat Wirid Hidayatjati" diulas tentang ajaran Sholat, yang terbagi kedalam Sholat dan Sembahyang, Sholat adalah sembahyang wajib, sedangkan sembahyang adalah sebuah keadaan tetap dalam keadaan sholat diantara waktu sholat.
Naskah-naskah Jawa itu mengajarkan bahwa usai seseorang selesai melaksanakan sholat wajib ia harus tetap mempertahankan kondisi sholat dalam keadaan sembahyang hingga tiba waktu sholat wajib berikutnya, dan untuk memperkuat sembahyang itu, ia melakukan sholat tanpa wudhu yakni sholawat, dengan sembahyang dan sholawat itu diharapkan orang jawa dapat meningkat kualitasnya dari waktu sholat ke sholat berikutnya. Terkadang pula wujud sembahyang itu dijelaskan sebagai ngabekti (perkhidmatan kepada kemanusiaan) dan orang-orang yang memiliki kualitas sholat dan sembahyang mewujud dalam perkhidmatan terbaik ini, dipasemonkan oleh Sunan Bonang dengan "rowlas warsa" dan "rowlas tangsu"
Sunan Bonang begitu lumid , singit dan wingit dalam
mempasemonkan Hadits Tsaqalain itu, kedalam untaian sastra yang indah dan
mendalam.
Kembali ke doa sayyidul’qoid, ...
Tak jarang yang berdoa itu bukanlah pendoa melainkan pembaca
doa dengan segala kekeringannya...
Dalam khasanah kapujanggan Jawa diajarkan, sebelum seseorang
menerima ajaran Suci Nabi dan keluarganya dan apalagi mendawamkan
munajat-munajat keluarga Nabi, diajarkan agar membersihkan Belantara
Tibaksara dari Diyu Rukmuka (keterikatan total pada kepemilikan materi) dan Diyu Rukmakala (keterikatan total pada
atribusi yang dilekatkan pada diri)... agar ia dapat mempribadikan ajaran mereka
(dalam kisah Dewa Ruci, disebut dengan AAli-Ali Panunggaling Warih) yang dalam
bahasa Kyai Wusman, Guru Ngabehi Ronggowarsito, disebut dengan "Kawruh
Rasuk".
Sedangkan dalam Suluk Wujil, disebutkan bahwa Allah Maha
Suci dan diajarkan oleh utusan, Rasul Muhammad yang suci dan ajaran itu
dilanjutkan oleh para washi yang dijamin kesuciannya sebagaimana dinyatakan
dalam QS.33:33, maka untuk dapat menjadikannya sebagai kawruh rasuk ia
mensicayakan kesucian pula...
"Pan nyata ananing Hyang aneng sih, ening
kasucianing Pangeran, Sayogyane mangke sira wujil, den nyata sireng sariranira...
[Dan jelaslah, bahwa Allah dengan segala kesuciannya yang
murni berada didalam kecintaan, oleh karenanya engkau Wujil, kenalilah dirimu
sendiri, dan hawa nafsumu akan terlena...]
Dalam cuplikan video yang mulia sayyidul qoid, mendawamkan
munajat
"Ya Allah, seolah-olah Aku dengan seluruh keberadaanku berdiri di hadapan-Mu, sementara rasa percaya penuhku kepada-Mu menaungi keberadaanku, Engkau telah melimpahkan keberkahan-Mu sesuai dengan keagungan-Mu dan telah menutupi kekuranganku dengan ampunan-Mu..."
Lalu beliau menutup dengan kalimat :
"Semoga insya Allah, Allah SWT menjadikan kita termasuk
dalam bagian doa munajat Sya'baniyah ini..."
Harapan beliau, adalah sebuah harapan sebagaimana harapan Sunan Bonang... harapan pada sebuah usaha mesu budi mulat sarira dengan Ali ali panunggalaning warih untuk ening kasucianing Pangeran, harapan pada usaha membenahi diri menyucikan diri dengan ajaran kesucian dari Keluarga Rasulullah saw yang mulia untuk menyambut Dia dengan segala kesucianya yang murni berada dalam kecintaan ...
sehingga digolongkan sebagaimana dalam doa Munajat
Sya'baniyah...
Semoga....
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ