Y4MaN ~ Lensa Mentari Dari Timur

Kompleksitas Yaman dan Gerakan Houthi


Houthi mungkin sedang bermimpi, tetapi mimpi mereka bukanlah ”Dinasti Zaidiyah”, melainkan negara Yaman yang modern.

Belakangan ini dunia banyak menyoroti gerakan Houthi di Yaman, sejalan dengan upaya mereka membela Palestina. Sejatinya, gerakan Houthi, yang aslinya bernama Ansharullah, bukanlah fenomena baru dalam politik Yaman, setidaknya jika kita menarik garis waktu mundur hingga 20 tahun silam (2004).


Sejak Oktober 2023, keputusan Houthi—yang kini menjadi penguasa de facto Yaman—untuk memblokade kapal-kapal yang diduga berasal dari dan sedang bergerak menuju Israel di Laut Merah—demi mendukung Palestina—telah mencuatkan kembali nama kelompok ini ke panggung dunia.


Apa dan siapa Houthi?

Beberapa pengamat coba menjelaskan apa dan siapa Houthi ini. Namun, pada umumnya, penjelasan mereka melahirkan pertanyaan baru yang sulit diterangkan. Misalnya, di media Barat disebutkan bahwa Houthi adalah proksi Iran yang ada di Yaman (negeri berusia 7.000-an tahun dan kini penduduknya diperkirakan 35 juta jiwa).


Meski mungkin benar ada dukungan Iran atas kelompok ini, melihat kelompok ini semata sebagai proksi Iran tampaknya merupakan asumsi yang anakronis. Sebab, sebagaimana digambarkan Shelagh Weir (2008), kelompok ini adalah bagian dari rajutan masyarakat tribal Yaman yang demikian kompleks dan telah mulai menunjukkan diri sejak gagalnya proyek Republik Yaman pada 1962.


Gerakan ini lebih tepatnya merupakan respons terhadap absennya gagasan negara Yaman dan menguatnya kembali tatanan lama untuk mempertahankan eksistensinya di tengah ketiadaan proyek negara modern. Penetrasi paham Wahabi yang disokong Arab Saudi melalui Partai Islah, serta perlawanan kelompok Syiah Zaidi dan kelompok Syafii melalui Hizb al-Haqq (Partai Al-Haqq) bisa dianggap sebagai awal kemunculan gerakan ini di Yaman Utara.


Dengan demikian, membingkai gerakan Houthi semata sebagai ”fenomena baru” yang muncul sebagai gerakan ”insurgensi” (pemberontakan) dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh (seperti ditulis Sumanto Al Qurtuby, Kompas, 25/1/2024) adalah sebuah penyederhanaan masalah.


Juga naif kalau menganggap bahwa itu dilakukan Houthi demi membangkitkan kembali (revivalisme) otoritas kekuasaan teokratik lama, yakni ”Imamah Syiah Zaidiyah”, yang pernah menguasai Yaman (bukan hanya Yaman Utara) selama berabad- abad hingga dekade 1960-an.


Terkait hal itu, menyebut kemunculan Houthi sebagai gerakan ”insurgensi”, seperti banyak dilakukan oleh pengamat Barat, adalah pendekatan yang problematik dari dua perspektif. Pertama, karakter orisinal kelompok ini dan, kedua, substansi tujuan mereka.


Houthi sebagai organisme perlawanan

Sejak pendiriannya sebagai organisasi pemuda mukminin (Syabab al-Mu’minin) dan kemudian sebagai partai politik Hizb al-Haqq pada 1990-an, Houthi tidak dapat dianggap sebagai entitas kohesif yang memiliki tujuan politis menjatuhkan pemerintahan.


Mereka merupakan aliansi longgar yang terdiri dari kelompok Houthi yang mengklaim berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Hasan putra Ali (cucu Nabi), kelompok tribal dari suku Hamdan, dan jaringan sosial di Yaman Utara yang bersatu karena pengalaman bersama dalam menghadapi penindasan oleh pemerintah pusat.


Inilah yang membentuk identitas bersama sebagai ”Sa’diyyun” dan ”Huthiyyun” (orang-orang Houthi), terutama setelah salah satu tokoh mereka, Hussein al-Houthi, kakak dari pemimpin saat ini, Abdul Malik al-Houthi, dibunuh oleh rezim Ali Abdullah Saleh.


Begitu pula, secara politik, kelompok ini tidak pernah merumuskan tujuan politik yang menjadi konsensus di dalam aliansi besar mereka, yang terdiri dari beragam unsur tribal dan jaringan sosial tadi, dan kemudian mengomunikasikannya kepada publik.


Ini setidaknya tidak terjadi hingga awal 2010 atau enam tahun sejak operasi militer rezim Saleh di Yaman Utara. Tak pernah ada pernyataan politik bahwa mereka akan menggulingkan pemerintah, membentuk negara berbasis teokrasi, dan mengubah tatanan politik Yaman secara besar-besaran.


Salmoni dan kawan-kawan (Regime and Periphery in Northern Yemen: The Huthi Phenomenon, 2010) berargumen bahwa lebih tepat menyebut Houthi sebagai ”organisme perlawanan” daripada organisasi ”insurgensi”. Ini karena sejak 1970-an kawasan Yaman Utara diabaikan oleh rezim Sana’a dalam hal infrastruktur, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pendidikan. Kawasan ini hanya dieksploitasi sumber daya alamnya, salah satunya pernah memicu perang sipil pada Mei 1994.


Selain marginalisasi dalam hal pembangunan, Yaman Utara mendapatkan stigma dari elite-elite politik di Sana’a (ibu kota Yaman) sebagai ”kampungan”, ”bodoh”, dan ”kasar” sehingga pantas untuk terus mendapatkan pengawasan. Belum lagi, kebijakan kontra-insurgensi rezim Saleh yang belakangan meluas, menyasar target-target sipil. Ini makin menghadirkan ketimpangan Utara-Selatan.


Akibatnya, tumbuh semacam kesadaran komunal bersama di Utara, yang di kemudian hari membesar dan melampaui batas-batas desa, distrik, dan provinsi.


Selain dua dimensi itu, terdapat dimensi lain yang melatari kemunculan Houthi. Pertama, peristiwa-peristiwa setelah 11 September 2001 ketika Sana’a secara politik mendukung invasi Amerika Serikat atas Afghanistan dan Irak.


Kondisi ini semakin menggerakkan Houthi untuk melancarkan kritik keras terhadap rezim Sana’a, terutama melalui ceramah-ceramah Hussein al-Houthi. Rezim Sana’a menilai aksi ini sebagai subversi terhadap pemerintah pusat.


Kedua, pemusatan kekuasaan di tangan Ali Abdullah Saleh (meskipun Saleh merupakan elite Zaidi) dan kroni-kroninya, termasuk kelompok-kelompok Salafi radikal.


Demi menyenangkan kelompok-kelompok radikal Salafi ini, sejak 1990-an rezim Saleh mengucurkan dana melalui Partai Islah—yang didukung Arab Saudi—guna membiayai infiltrasi Salafisme dan Wahabisme di Utara.


Dimensi inilah yang kemudian mengonsolidasikan pengikut Zaidisme di Utara dan membawa dimensi religius (mazhab) ke dalam ketegangan ini (Salmoni dkk, 2010).


Penyebutan Houthi sebagai gerakan ”insurgensi” juga digunakan oleh pemerintahan Saleh. Pembingkaian (framing) yang dilakukan rezim Saleh itu setidaknya punya tiga tujuan. Pertama, melalui istilah ”insurgensi”, rezim Saleh ingin menyamakan Houthi dengan gerakan-gerakan insurgensi di Irak dan Afghanistan untuk menarik perhatian AS. ”Insurgensi” adalah istilah khas intelijen dan militer AS dalam Perang Global Melawan Teror.


Kedua, karena dikaitkan dengan Perang Global Melawan Teror, rezim Saleh ingin membingkai Houthi sebagai ”kaki tangan” Iran di selatan Semenanjung Arab. Ketiga, untuk konsumsi lokal, rezim Saleh hendak menggambarkan Houthi sebagai gerakan kemazhaban (sektarian) demi membangkitkan kebencian kelompok (sekte) keagamaan lain.

Aspirasi Houthi tentang negara

Satu simplifikasi utama yang melenceng, tetapi banyak beredar di media Barat adalah pernyataannya bahwa motivasi kebangkitan Houthi adalah keinginan mereka membangkitkan kembali (revivalisme) kekuasaan teokratik Syiah Zaidiyah (Zaidi) di Yaman. Ini juga yang menjadi dasar tudingan bahwa Houthi adalah proksi Iran yang ditanam di Yaman.


Seperti dijelaskan sebelumnya, kemunculan Houthi, meski diinspirasi dan dipimpin oleh pemuka-pemuka agama Zaidi, tidak bisa dikatakan sebagai gerakan kemazhaban, terlebih lagi disebut sebagai manifestasi lokal dari kebangkitan transnasional ”Bulan Sabit Syiah”.


Ia lebih merupakan konsekuensi rasional dari ketidakpuasan penduduk di kawasan Yaman Utara yang terpinggirkan (periferi) oleh kebijakan rezim pemerintah pusat yang sentralistik. Dalam perkembangannya, kondisi ini berinterseksi dengan kemunculan ”identitas baru” sebagai ”Sa’diyan”, ”Zaidi”, dan ”Houthi”.


Meskipun bernuansa kedaerahan dan kesukuan, makna ”identitas baru” itu pada hakikatnya melampaui arti-arti denotatifnya. Ia melampaui batas-batas geografi, tribal, dan keagamaan.


Ada dua faktor yang mendorong itu. Pertama, kebijakan kontrainsurgensi rezim Saleh yang membabi buta. Kedua, ikatan sosial khas Yaman Utara yang sejak lama terbangun dan terkonsolidasikan akibat pengalaman bersama menghadapi kebijakan represif pusat.


Secara sederhana, kelompok sosial masyarakat di Yaman Utara bisa digambarkan terbagi tiga, yaitu tribal, nontribal, dan sayyid. Seiring dengan tantangan yang dihadapi Yaman Utara, ketiga kelompok sosial ini membangun ikatan kekerabatan yang kuat melalui pernikahan. Banyak laki-laki sayyid (setara dengan ”habib” di Indonesia) yang menikahi perempuan-perempuan dari kalangan tribal dan nontribal, begitu pula pernikahan antara tribal dan nontribal.

Berkat persatuan sosial melalui pernikahan ini, ketiga kelompok sosial ini saling menjaga satu sama lain, baik dari sisi keamanan (yang biasanya disediakan oleh kelompok tribal), ekonomi (dari nontribal), maupun legitimasi keagamaan dari kelompok sayyid.


Seperti digambarkan Salmoni dkk (2010), ikatan sosial yang kokoh itu tidak hanya menguat di Sa’da (satu di antara kota paling bersejarah di Yaman Utara), tetapi makin meluas ke provinsi-provinsi di sekitarnya.


Itu mengapa Houthi kini bisa mengendalikan 80 persen infrastruktur sosial-politik di Yaman, yang mayoritas populasinya Sunni (yang di Yaman jumlahnya 65 persen), selain juga karena Syiah Zaidiyah—dibandingkan dengan aliran Syiah lain—lebih dekat pada Sunni.


Jadi, sebenarnya Houthi telah ”kembali” memimpin dan mempersatukan Yaman, tetapi bukan dalam bingkai menegakkan Imamah Zaidiyah. Dalam dokumen resmi Al-Majlis Al-Siyasi Al-A’ala (Dewan Politik Tertinggi), lembaga eksekutif yang de facto memerintah di Sana’a sejak 2016, disebutkan bahwa Yaman akan menjadi a modern, democratic, stable, and unified Yemen.


Houthi mungkin sedang bermimpi, tetapi mimpi mereka bukanlah ”Dinasti Zaidiyah”, melainkan negara Yaman yang modern, demokratis, stabil, dan bersatu. Perjuangan mereka juga dimaksudkan untuk perbaikan negeri itu. Sesuai laporan PBB pada 2019, sebanyak 24 juta jiwa (75 persen) populasinya paling membutuhkan bantuan kemanusiaan di dunia.


Musa Alkadzim, Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Internasional Indonesia

------------------------------

Source:

https://www.kompas.id/baca/english/2024/03/14/en-kompleksitas-yaman-dan-gerakan-houthi-1