Budaya atau PerD4YA

 


ᒎᗩᗷᗩᖇ ~ ᗪᎥ ᗷᗩᗯᗩᕼ ᖇᗴ乙Ꭵᗰ ᗴᔕ丅ᗴ丅Ꭵᛕᗩ: ᗩᑎ丅ᗩᖇᗩ ᖇᗴᑭᖇᗴᔕᗴᑎ丅ᗩᔕᎥ ᗪᗩᑎ ᗰᗩᑎᎥᑭᑌᒪᗩᔕᎥ ᗷᑌᗪᗩƳᗩ


Fenomena politik DM di Jawa Barat menandai fase baru dalam penggunaan seni dan budaya sebagai instrumen kekuasaan. Sejak menjabat Bupati Purwakarta hingga kini menjadi Gubernur, DM mengangkat estetika lokal, seperti iket, pangsi, bahasa Sunda, pertunjukan seni tradisional, dan banyak gapura sebagai wajah pemerintahannya. Sehingga tak sedikit orang mengatakan Dedi sebagai titisan Prabu Siliwangi. 


Kehadirannya tidak sekadar mencuri perhatian, ia juga memonopoli tafsir atas identitas dan kebudayaan di ruang publik.  Ia melakukan apa yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai ‘war of position’, perebutan dominasi ideologis melalui kontrol atas simbol, narasi, dan makna.


Dalam politik modern, representasi tidak pernah netral. Ia adalah bentuk kekuasaan yang bekerja melalui simbol, visualitas, dan tata ruang. Di Jawa Barat hari ini, estetika telah menjadi rezim itu sendiri, satu sistem representasi yang dibentuk dan dikendalikan oleh elite politik untuk menata persepsi publik tentang “kemajuan”, “budaya”, bahkan “jati diri”. Karena itu, pertanyaan penting yang perlu diajukan terhadap kebangkitan budaya dalam politik DM bukan sekadar “apa yang diangkat?”, tetapi “bagaimana ia difungsikan?” dan “untuk siapa budaya itu bekerja?”


Hal ini tampak jelas dalam politik anggaran. Sebagaimana dikatakan oleh Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), selera estetika bukan hanya soal keindahan, tetapi produk dari dominasi simbolik. Anggaran daerah Jawa Barat menunjukkan hal itu dengan telanjang: belanja kesenian mencapai Rp 10,9 miliar, sementara pembangunan tugu, gapura, dan batas wilayah tembus Rp 22,5 miliar. Tak hanya estetika menjadi instrumen kebijakan, tetapi juga menjadi struktur dominasi yang mencitrakan kuasa gubernur dalam format yang dapat dipertontonkan. 


Anggaran bukan sekedar instrumen teknokratik, ia adalah bentuk “aqidah politik”. Di sinilah kita mengingat tesis Jacques Ranciere dalam The Politic of Aesthetics (2004), bahwa estetika mengatur “distribusi yang dapat dirasakan”, yaitu bagaimana sesuatu ditampilkan, siapa yang boleh tampil, dan dalam format seperti apa ia hadir. 


Karena itu, banyak pertanyaan penting yang perlu diajukan terhadap kebangkitan budaya dalam politik DM bukan sekedar “apa yang diangkat?”, tetapi “bagaimana ia difungsikan?”  dan “untuk siapa budaya itu bekerja?”


Apakah alokasi anggaran sebesar itu benar-benar dimaksudkan untuk membangkitkan kembali kesenian dan kebudayaan yang nyaris lenyap, atau justru dimanfaatkan sebagai arena kepentingan politik? Bayangkan saja jika anggaran sebesar itu diperuntukkan secara merata untuk menghidupkan seniman dan budayawan di daerah, dengan kalkulasi jumlah kecamatan di Jawa Barat sebanyak 627 kecamatan, akan menjadi lompatan besar untuk menghidupkan seni dan budaya lokal.  


𝐓𝐚𝐩𝐚𝐤 𝐋𝐚𝐜𝐚𝐤 𝐈𝐦𝐚𝐣𝐢𝐧𝐚𝐬𝐢 𝐊𝐮𝐥𝐭𝐮𝐫𝐚𝐥 𝐒𝐚𝐧𝐠 𝐆𝐮𝐛𝐞𝐫𝐧𝐮𝐫

DM, sebelum dan sesudah menjadi gubernur, konsisten menampilkan bentuk pertunjukan kesenian yang sama, sebagaimana bisa kita lihat dalam akun media sosialnya, baik kanal YouTube, instagram, hingga Tiktoknya. Tarian tradisional, simbol-simbol etnik Sunda, dan parade budaya menjadi semacam “mantra politik” yang diulang terus-menerus. Tapi dalam logika Adorno dan Horkheimer, ini bukan budaya, melainkan industri budaya—produk yang dikemas untuk konsumsi massa, direproduksi tanpa makna baru, dan dirancang bukan untuk menggugah kesadaran, tetapi untuk mempertahankan status quo (Dialectic of Enlightenment, 1944).


Pertunjukan itu—lampu-lampu hias, parade helaran, atau ornamen pohon tangkal bersarung—lebih mendekati simulacra dalam pengertian Jean Baudrillard (Simulacra and Simulation, 1981): bukan representasi realitas, melainkan pengganti realitas itu sendiri. Kesenian kehilangan daya gugahnya sebagai ekspresi emansipatoris, dan berubah menjadi sekadar dekorasi kekuasaan.


Ketika tugu-tugu dan gapura dibangun megah di perbatasan kabupaten dan kota, atau ketika acara kebudayaan dikemas dalam rangkaian Safari Pembangunan, kita tidak sedang menyaksikan revitalisasi budaya. Kita sedang melihat estetika kuasa yang dipajang sebagai etalase legitimasi politik.


𝐊𝐮𝐜𝐢𝐧𝐠-𝐊𝐮𝐜𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐀𝐧𝐠𝐠𝐚𝐫𝐚𝐧

Ironi paling tajam justru terlihat dari cara anggaran dibagi. Di saat kebutuhan mendasar seperti pemberdayaan seniman dan budayawan, bahkan  pendidikan dan penguatan guru honorer, guru ngaji, atau guru diniyah PAUD belum tersentuh memadai, dana justru mengalir deras ke kegiatan simbolik yang dibalut “kesenian” dan “safari pembangunan”:

Safari Pembangunan Disparbud: Rp 5,79 miliar;
Safari DPMDes: Rp 4,5 miliar;
Kesenian Safari (Biro Adpim): Rp 504 juta;
BMHP untuk Safari (Dinkes): Rp 1,79 miliar.

Dokumen efisiensi APBD 2025 justru menyiratkan praktik manipulasi nomenklatur anggaran. Program yang sebenarnya bersifat seremoni—penuh pertunjukan dan simbolisme—diselubungi dalam bahasa “pembangunan”, “kesehatan”, atau “penguatan desa”. Dalam perspektif Gramsci (Selections from the Prison Notebooks, 1971), ini adalah bentuk hegemoni kultural: negara tidak hanya memerintah lewat kekuatan koersif, tetapi juga melalui konsensus yang dibangun di atas simbol dan ritus yang diinternalisasi.

Rezim ini tampaknya lebih mendahulukan tampilan luar ketimbang substansi. Padahal, dalam konteks krisis pendidikan dan minimnya jaminan kesejahteraan guru, mestinya infrastruktur pengetahuanlah yang menjadi prioritas. Seluruh kebijakan yang dijalankan DM ini tampak menyimpang dari semangat efisiensi yang ditekankan dalam Instruksi Presiden. 


𝐊𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐧𝐢𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐄𝐤𝐨𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚

Di tengah gelombang estetisasi kekuasaan dan komodifikasi budaya oleh negara, Prof. Ganjar seorang budayawan Jawa Barat, memberikan pandangan  bahwa kesenian bukan milik negara, apalagi proyek elite, melainkan bagian dari ekosistem hidup masyarakat. Dalam pandangan ini, seni tidak membutuhkan gedung mewah, tetapi ruang yang tumbuh bersama warga, tidak mencari panggung, tapi akar budaya.

Lantas bagaimana agar ekosistem budaya tetap hidup?
Pertama, setiap kecamatan wajib memelihara dan mengembangkan dua jenis kesenian. Seni tradisional bukan sekadar warisan, melainkan praktik yang bisa direvitalisasi secara lokal.

Kedua, pemberdayaan seniman dan budayawan lokal di setiap desa. 
Ketiga, problem kesenian dari tahun ke tahun adalah karena krisis generasi seniman dan budayawan. Maka, kita harus menjadikan sekolah sebagai rahim budaya. Sekolah bukan sekadar ruang transfer ilmu, tapi juga ruang pembentukan identitas dan imajinasi kultural. 

Keempat, pemerintah cenderung mengukur kemajuan budaya lewat bangunan: gapura, gedung kesenian, museum, atau taman budaya. Padahal, seringkali gedung-gedung itu mati, tak pernah hidup dengan kegiatan. Kita harus membalik logika ini: kesenian harus hadir di ruang yang sudah dimiliki dan dikenal warga, yaitu bale desa, sekolah, ruang publik. Dengan cara ini, kesenian tak hanya dekat secara geografis, tapi juga secara sosial.

Pemerintah harus berperan sebagai fasilitator, bukan kurator tunggal. Di sinilah pentingnya mengadopsi semangat ‘cultural democracy’, sebagaimana dikembangkan oleh Raymond Williams, bahwa kebudayaan bukan hanya hasil tinggi, melainkan milik semua orang yang terlibat dalam kehidupan sosial.


𝐈𝐟𝐭𝐢𝐭𝐚𝐡: 𝐊𝐮𝐚𝐬𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐂𝐞𝐫𝐦𝐢𝐧 𝐄𝐬𝐭𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚


Estetika adalah alat paling halus dalam kerja kekuasaan. Di tangan seorang pemimpin yang menjadikan seni sebagai instrumen personalisasi kuasa, kesenian kehilangan daya kritisnya dan berubah menjadi alat propaganda simbolik. Apa yang terjadi di Jawa Barat hari ini adalah bukti konkret bagaimana kekuasaan dapat membungkus dirinya dalam warna-warni budaya, sambil tetap mempertahankan pola relasi yang hierarkis dan eksklusif.

Dalam masyarakat demokratis, budaya seharusnya menjadi arena pergulatan wacana—bukan sekadar latar panggung kekuasaan. Jika kesenian hanya difungsikan sebagai hiasan dalam pawai kekuasaan, maka bukan hanya seniman yang dirugikan, tetapi juga publik yang dimiskinkan makna.

-----------


H. Maulana Yusuf Erwinsyah
(Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat F-PKB)