AI DAN LOGIKA MISTISISME

 "The greatest men who have been

philosophers have felt the need both of

science and of mysticism: the attempt to

harmonise the two was what made their life." — Bertrand Russel(1872-1970).

"Where the philosopher guesses and argues,

the mystic lives and looks; and speaks,

consequently, the disconcerting language of

firsthand experience." — Evelyn Underhill(1875-1941).

Ketika pada 1970, Alvin Toffler memprediksi kejutan masa depan dengan revolusi teknologi informasi, Futureshock dan Third Wave, kini ramalan itu mewujud sebagai realitas rangkap: reality dan virtual.

Era, ketika perangkat  digital didominasi oleh algoritma dan akal imitasi(AI), yang menjauhkan hakikat relasi „mistik keseharian“  manusia dengan lanskap rasionalitas modern.

Memasuki realitas yang tampak paradoks, dua tokoh besar abad-20 — Bertrand Russell, pencetus rasionalisme ketat, dan  Evelyn Underhill, teolog mistikus Kristen —menawarkan pendekatan kontras, meski saling melengkapi,  dalam membahas hubungan logika dan mistisisme. 

Melalui karya mereka, Mysticism and Logic(1910) dan Mysticism(1911), kita diajak mengarungi  kembali batas nalar dan nir nalar dalam kemungkinan transendensi di bawah keguyuban imanensi.

Dari Russell,  diawali dengan hipotesa bahwa apapun jenis filsafat, lahir dari dua dorongan: ilmiah dan mistik. 

Bagi Russel, peraih nobel sastra 1950 — meski tak pernah menulis sebuah puisi maupun novel — mistisisme memiliki daya tarik emosional dan kedalaman intuitif.

Tentu saja, di luar nalar praktis, mistisisme sering kali menolak prinsip-prinsip logika dan bukti-bukti empiris. 

Betapapun sangat menggugah, intuisi mistik dalam kinerja anatomi tubuh mengandung resiko terperosok pada godaan ilusi — majnun dalam sufisme — jika tak diolah oleh faali nalar, otak,  itu sendiri. 

Karena dalil nalar mengungkapkan bahwa kebenaran harus diuji secara rasional dan harus dibuktikan lewat analisis logis. 

Meski mengakui dipengaruhi Heraclitus dan Plato, pemikiran Russel, khusus dalam Mysticism and  Logic, menggabungkan intuisi mistik dengan perspektif filosofis dan menekankan bahwa filsafat yang sehat harus berpijak pada metode ilmiah yang ketat. 

Dalam konteks AI, resonansi kuat dalam  pandangan Russell menunjukkan bahwa akal imitasi(AI) sebagai produk logika tertinggi memiliki sistem belajar dan bertindak berdasarkan data yang dapat diverifikasi. 

Dengan kata lain, validitas intuisi yang ditiru AI tetap bergantung pada kerangka rasional di baliknya.

Sementara itu, Evelyn Underhill lebih menyoroti kedalaman batin manusia dan perjalanan spiritual yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh logika. 

Mistisisme, menurutnya, adalah seni bersatu dengan Realitas terdalam - "Mysticism is the art of union with Reality!"

Jalan mistik sebagai transformasi kesadaran, dilalui dengan tahap-tahap intens — mulai dari kebangkitan spiritual(The Awakening of the

Self) hingga penyatuan mistik dengan yang Ilahi((The Unitive Life) — dianggap bukanlah pelarian dari logika, melainkan melampaui batas-batasnya. 

Tekanan Underhill, mistisisme bukan sebagai khayalan atau ilusi, melainkan sebagai realitas yang lebih tinggi, di mana logika hanyalah permulaan. 

Renungan kontemplatif: apakah mungkin sistem akal imitasi bisa diacu untuk menggali kedalaman batin manusia? 

Jelas, Underhill  akan menjawab bahwa AI tidak bisa mengalami mistisisme secara aktif. Akan tetapi, akal imitasi(AI) ini bisa membantu manusia menemukan kembali kedalaman tersebut melalui refleksi dan pemahaman, in actus.

AI sendiri, sebetulnya berada di persimpangan eksistensial dan menurut Michel Talbot disebut sebagai „objection“ dalam fisika kuantum(Bandingkan M. Talbot, Mysticism and New Physic, 1980).

Di satu sisi, AI adalah produk manifestasi dari kemampuan analitis manusia yang luar biasa. 

Di sisi lain, perannya, Akal Imitasi, memunculkan pertanyaan filosofis tentang kesadaran, intuisi, hakikat dan makna, in absolutis. 

Russell mendorong  berpikir jernih dan skeptis. Sementara Underhill mengajak kondisi mistisisme harus dirasakan dan dialami langsung. Bukan sekedar berpikir praktis. 

Ketika AI membantu mengolah informasi, manusia tetap menjadi penafsir makna terdalam dan utama dalam seluruh relasi logika yang diaktifkan. 

Dengan demikian, mistisisme  dan logika bukanlah musuh satu sama lain. Ibarat dua sayap, keduanya memungkinkan pemikiran manusia terbang lebih tinggi.

Hit et nun. Karena dunia makin digerakkan oleh kuantum dan algoritm akal imitasi(AI), justru yang paling dibutuhkan adalah kombinasi ketajaman logika dan kelembutan jiwa secara bersamaan.

Akhirnya, mengutip Heraklitos, Russel menulis:

"Dunia ini, yang sama untuk semua, tidak ada yang menciptakannya baik dewa maupun manusia. Namun, dunia ini selalu ada, ada sekarang, dan akan selalu ada sebagai api yang hidup, dengan ukuran yang menyala dan ukuran yang padam."

Akan tetapi, perlu diacu konklusi ringkas Steven T. Katz(editor), Mysticism and Philosophical Analysis(1978):

"There are NO pure (i.e. unmediated) experiences."