Ketika Otak Kita Memilih Jalan Pintas
Ketika Otak Kita Memilih Jalan Pintas
Pernahkah Anda merasa sangat yakin akan sesuatu, lalu belakangan menyadari bahwa keyakinan itu ternyata keliru? Atau pernahkah Anda membuat keputusan berdasarkan “perasaan saja” dan hasilnya justru tepat? Fenomena seperti itu adalah bagian dari cara kerja otak manusia—dan di sinilah dua konsep penting muncul: cognitive dan heuristic.
Mari kita mulai dengan istilah pertama: cognitive.
Kata ini berasal dari bahasa Latin cognoscere, yang berarti “untuk mengetahui”. Dalam psikologi dan ilmu saraf, kognitif merujuk pada segala sesuatu yang berkaitan dengan proses berpikir. Termasuk di dalamnya: mengingat, belajar, memproses persepsi, memahami bahasa, menyusun rencana, dan tentu saja—mengambil keputusan.
Bayangkan otak Anda seperti komputer super kompleks yang terus bekerja setiap detik, menyaring ribuan informasi dari lingkungan sekitar dan dalam diri Anda sendiri. Namun, tidak seperti komputer yang beroperasi secara logis dan terprogram, otak manusia punya karakteristik unik: ia efisien, adaptif, dan sering kali... tidak sempurna. Di sinilah konsep heuristik mulai memainkan peran.
Heuristik adalah cara otak “menyiasati” kompleksitas dunia dengan jalan pintas mental. Anda tidak selalu memiliki waktu atau energi untuk menghitung semua kemungkinan atau menganalisis data secara menyeluruh. Jadi otak menggunakan strategi cepat—sering disebut rules of thumb atau mental shortcuts—yang biasanya cukup membantu, tetapi juga rentan terhadap kesalahan.
Misalnya?
Bayangkan Anda diminta memilih antara dua produk: satu mendapat ulasan 4,9 dari 50 orang, dan satu lagi mendapat 4,6 dari 5.000 orang. Tanpa berpikir panjang, Anda mungkin lebih tertarik pada yang 4,9. Ini disebut representativeness heuristic—otak cenderung menyimpulkan kualitas berdasarkan angka yang terlihat tinggi, tanpa memperhitungkan banyaknya data pendukung. Padahal, 4,6 dari ribuan ulasan bisa jadi jauh lebih andal.
Bayangkan Anda diminta memilih antara dua produk: satu mendapat ulasan 4,9 dari 50 orang, dan satu lagi mendapat 4,6 dari 5.000 orang. Tanpa berpikir panjang, Anda mungkin lebih tertarik pada yang 4,9. Ini disebut representativeness heuristic—otak cenderung menyimpulkan kualitas berdasarkan angka yang terlihat tinggi, tanpa memperhitungkan banyaknya data pendukung. Padahal, 4,6 dari ribuan ulasan bisa jadi jauh lebih andal.
Atau ketika Anda merasa naik pesawat berbahaya hanya karena baru saja menonton berita tentang kecelakaan pesawat. Ini disebut availability heuristic: semakin mudah sesuatu muncul dalam ingatan, semakin besar kemungkinan Anda menganggapnya sering terjadi—meskipun statistik sebenarnya menunjukkan bahwa pesawat adalah moda transportasi yang paling aman.
Kadang heuristik memang membantu Anda mengambil keputusan cepat dan cukup akurat—seperti saat menyebrang jalan dan melihat mobil mendekat. Tapi di sisi lain, heuristik juga menjadi akar dari banyak bias kognitif, seperti rasa percaya diri berlebihan (overconfidence), kecenderungan mencari informasi yang memperkuat keyakinan (confirmation bias), atau sulit menghentikan keputusan yang sudah “telanjur dijalani” (sunk-cost fallacy).
Singkatnya, cognitive adalah istilah untuk seluruh proses berpikir yang dilakukan otak. Sementara heuristic adalah strategi instan yang digunakan otak untuk menghemat waktu dan energi. Keduanya adalah bagian dari mesin pikiran yang luar biasa ini—yang tidak hanya mampu memahami dunia, tapi juga belajar dari kesalahan yang dibuat.
Memahami bagaimana otak bekerja bukan hanya perkara sains, tapi juga langkah menuju kebijaksanaan. Semakin Anda sadar bahwa pikiran Anda bisa salah, semakin besar pula kemungkinan Anda membuat keputusan yang lebih bijaksana. (**)