Zaman yang Menulis Balik


Kita sedang memasuki fase ketika “menulis” tidak lagi murni tindakan individual, melainkan praktik kolaboratif antara pikiran manusia dan mesin bahasa. Dalam beberapa tahun ke depan—bukan dekade—menulis dengan bantuan AI akan menjadi default seperti autocorrect, search engine, dan template presentasi. Banyak orang masih menolak gagasan ini seolah ia ancaman terhadap martabat intelektual. Mereka berbicara tentang kemalasan, kecurangan, hilangnya orisinalitas, dan hancurnya kemampuan berpikir. Sebagian kekhawatiran itu sah. Namun penolakan total, sikap anti-AI yang memusuhi teknologi sebagai prinsip, justru sering memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: ketidakpekaan terhadap perubahan rezim media, ketidakmampuan membaca arah struktur sosial, dan kecenderungan mempertahankan privilese lama atas “siapa yang berhak disebut penulis”.


Tesis esai ini sederhana tetapi konsekuensinya luas: pada waktunya hampir semua orang akan menulis dengan AI, bukan karena manusia mendadak malas, melainkan karena sistem sosial-ekonomi, institusi, dan infrastruktur digital akan mengarahkan kita ke sana. Sikap anti-AI yang total bukan bentuk kedewasaan moral, melainkan kerap kali respons reaksioner terhadap perubahan yang tak bisa dibendung. Masalahnya bukan “boleh atau tidak” memakai AI, melainkan bagaimana masyarakat mengatur relasi kuasa, etika, dan kompetensi agar tulisan berbantuan mesin tetap punya integritas.


Pertama, kita perlu membedakan tiga posisi yang sering disatukan secara serampangan. Ada penolakan total: AI dianggap haram secara moral, tanda kemunduran, dan siapa pun yang memakainya dianggap curang. Ada skeptisisme kritis: AI diterima sebagai fakta, tetapi dituntut akuntabilitas—soal bias, kepemilikan data, privasi, dan dampak terhadap kerja. Ada adopsi bertanggung jawab: AI dipakai sebagai alat, dengan aturan, transparansi, dan literasi yang jelas. Sasaran kritik esai ini adalah yang pertama: penolakan total. Sebab ia bukan sekadar pilihan pribadi; bila menjadi norma institusional, ia akan mendorong masyarakat mengabaikan realitas dan tertinggal dalam kompetensi, sementara aktor lain—perusahaan, birokrasi, bahkan negara—tetap bergerak mengintegrasikan AI diam-diam.


Mengapa “semua akan menulis dengan AI” merupakan tendensi struktural? Karena teknologi menulis selalu bergerak ke arah otomasi yang membuat bahasa lebih cepat diproduksi, dipoles, dan disebarkan. Perubahan ini bukan hanya soal kenyamanan, melainkan soal kompetisi dan standar industri. Ketika satu tim kerja bisa membuat laporan, proposal, ringkasan rapat, dan materi pelatihan dua kali lebih cepat dengan kualitas yang “cukup baik”, organisasi lain yang menolak akan kalah dalam kecepatan respon, dokumentasi, dan iterasi. Dalam ekonomi modern, kecepatan bukan sekadar efisiensi; ia adalah kekuatan. Dan jika kekuatan itu tersedia melalui AI, sulit membayangkan masyarakat luas menolaknya secara kolektif.


Sejarah memberi pola yang berulang. Peralihan dari budaya lisan ke budaya tulis mengubah cara manusia mengingat, mengajar, dan mengorganisasi pengetahuan. Banyak yang curiga terhadap tulisan karena dianggap melemahkan daya ingat dan mengasingkan manusia dari kebijaksanaan yang hidup dalam percakapan. Ketika mesin cetak muncul, terjadi ketakutan bahwa banjir buku akan merusak otoritas, membuat orang “setengah paham”, dan menurunkan kualitas intelektual. Ketika mesin tik dan kemudian pengolah kata menjadi umum, muncul nostalgia pada tulisan tangan sebagai tanda kejujuran dan “kedekatan” dengan pikiran. Setiap era menuduh teknologi baru merusak orisinalitas dan disiplin. Namun yang terjadi bukan lenyapnya kemampuan, melainkan reposisi kemampuan: dari menghafal menjadi menyeleksi, dari menyalin menjadi menyunting, dari menulis lambat menjadi merancang argumen dan struktur.


AI mempercepat reposisi itu dengan intensitas yang lebih tinggi. Ia bukan hanya alat mengetik; ia mengusulkan kalimat, menyusun paragraf, merapikan logika, bahkan meniru gaya tertentu. Karena itu, resistensi hari ini terdengar moralistik: “kalau AI menulis untukmu, apa yang tersisa dari dirimu?” Pertanyaan ini tampak mendalam, tetapi sering menyembunyikan asumsi usang: bahwa “penulis” adalah individu otonom yang mencipta dari ruang hampa. Padahal menulis selalu kolaboratif—dengan bahasa yang diwariskan, dengan genre yang sudah ada, dengan institusi yang menentukan standar, dengan editor, guru, pembaca, dan perangkat. AI hanyalah aktor baru dalam jejaring itu: lebih cepat, lebih canggih, dan lebih dekat ke inti proses.


Di sinilah sikap anti-AI total sering salah sasaran. Ia menyerang alat, bukan struktur. Bila masalah kita adalah eksploitasi data, dominasi platform, dan ketimpangan akses, maka melarang AI di level pengguna tidak menyelesaikan akar. Justru larangan total cenderung memperkuat pemain besar: orang-orang yang punya akses akan tetap memakai AI secara tersembunyi, sementara yang patuh pada larangan menjadi kalah kompetensi. Dalam konteks pendidikan, misalnya, pelarangan keras tanpa desain kurikulum baru hanya melahirkan budaya “main kucing-kucingan”: siswa menggunakan AI diam-diam, guru berburu jejak, institusi kehilangan kesempatan membangun literasi. Hasil akhirnya bukan integritas, melainkan kemunafikan sistemik.


Akar emosional anti-AI juga tidak bisa diabaikan: menulis adalah kapital simbolik. Dalam banyak masyarakat, kemampuan menulis adalah penanda kelas, otoritas, dan legitimasi. Orang yang bisa menulis rapi dianggap lebih cerdas, lebih layak didengar, lebih pantas memimpin. Ketika AI membuat kemampuan itu lebih merata—atau setidaknya tampak merata—terjadi kecemasan status. Bukan semata-mata “kualitas tulisan” yang dipertaruhkan, melainkan kelangkaan. Jika semua orang bisa menulis email meyakinkan, proposal rapi, atau esai terstruktur, maka sebagian orang kehilangan keunggulan kompetitif yang dulu mereka miliki. Dari sini, anti-AI total mudah berubah menjadi moralitas yang menutupi kepentingan: mempertahankan jarak antara yang “terdidik” dan yang “biasa”.


Namun membela adopsi AI bukan berarti menutup mata terhadap risiko. Ada sejumlah keberatan yang benar-benar kuat. AI dapat menghasilkan halusinasi—informasi palsu dengan gaya meyakinkan. Ia bisa memperkuat bias karena belajar dari data historis yang tidak netral. Ia bisa mendorong homogenisasi gaya, membuat teks terasa “seragam” dan kehilangan kekhasan pengalaman. Ada isu hak cipta dan keadilan bagi para kreator. Ada risiko ketergantungan kognitif: orang berhenti berlatih menyusun argumen karena selalu disediakan draf awal. Ada ancaman privasi ketika tulisan internal—catatan pasien, evaluasi siswa, rencana bisnis—dimasukkan ke sistem yang dikendalikan pihak ketiga. Semua ini bukan paranoia; ini kritik yang harus diintegrasikan ke dalam praktik.


Di titik ini, perbedaan antara skeptisisme kritis dan anti-AI total menjadi jelas. Skeptisisme kritis berkata: “AI akan dipakai, karena itu mari desain batas, verifikasi, dan akuntabilitas.” Anti-AI total berkata: “AI tidak boleh dipakai; kita kembali ke cara lama.” Yang pertama realistis dan produktif; yang kedua romantik dan sering tidak konsisten. Sebab cara lama pun penuh teknologi: kamus, mesin pencari, template, bahkan referensi yang sering disalin dari sumber-sumber yang tidak dibaca utuh. Menolak AI sambil menerima teknologi lain tanpa refleksi hanyalah pilihan arbitrer yang dibalut nilai.


Bagaimana bentuk dunia ketika semua menulis dengan AI? Lihat tiga vignette singkat.


Di sekolah, seorang siswa diminta menulis esai tentang perubahan iklim. Dengan AI, ia bisa menghasilkan draf lima paragraf dalam dua menit. Jika sekolah hanya melarang, siswa tetap akan memakai AI dan belajar satu hal: cara menyembunyikan jejak. Tetapi bila sekolah mengubah asesmen—misalnya meminta siswa menunjukkan catatan proses, menguji argumentasi lisan, meminta kritik terhadap draf AI, atau menilai kemampuan memverifikasi sumber—maka AI justru menjadi alat pedagogis. Fokus berpindah dari “produk akhir” ke “proses berpikir”: kemampuan mengajukan pertanyaan, mengoreksi kekeliruan, dan membangun posisi.


Di kantor, seorang staf diminta membuat SOP layanan pelanggan. AI dapat membantu menyusun struktur, bahasa yang konsisten, dan checklist. Risiko muncul ketika staf menerima mentah-mentah: SOP menjadi generik, tidak sesuai konteks, dan mengandung klaim salah. Solusinya bukan melarang AI, melainkan menetapkan prosedur: AI boleh dipakai untuk draf, tetapi final harus melalui validasi ahli lapangan, uji coba, dan audit berkala. Dengan begitu, AI meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan akurasi.


Di ruang publik, seorang aktivis menulis pernyataan sikap tentang isu sosial. AI bisa membantu merapikan retorika, menghindari bahasa yang memicu, dan menyesuaikan nada untuk audiens berbeda. Tetapi ia juga bisa dipakai untuk memproduksi propaganda massal dan ujaran kebencian terselubung. Inilah alasan mengapa literasi media dan etika platform menjadi krusial. Lagi-lagi, larangan pada individu tidak cukup; yang dibutuhkan adalah tata kelola: transparansi, pelabelan tertentu di konteks tertentu, serta pendidikan publik agar mampu membaca pola manipulasi.


Dari tiga contoh itu, terlihat bahwa pertanyaan inti bukan “AI merusak atau menyelamatkan menulis”, melainkan “kompetensi apa yang harus kita anggap sebagai inti dari menulis di era AI”. Jika dulu menulis berarti merangkai kalimat dari nol, kini menulis semakin mirip mengorkestrasi: merumuskan tujuan, memberi konteks, mengarahkan gaya, menguji konsistensi, memeriksa fakta, dan mempertanggungjawabkan dampak. Penulis bukan lenyap; perannya bergeser menjadi arsitek makna dan penjaga integritas.


Karena itu, sikap anti-AI total tampak seperti ketidaksadaran zaman bukan karena ia memilih kehati-hatian, melainkan karena ia gagal memahami bagaimana perubahan teknologi bekerja: teknologi bahasa selalu mengubah standar kemampuan. Menolak total berarti mendidik generasi baru untuk bertarung dengan aturan lama di arena baru. Sama seperti melarang kalkulator tanpa mengubah kurikulum matematika akan membuat siswa pandai menghitung manual tetapi lemah dalam pemodelan, melarang AI tanpa mengubah kurikulum literasi akan membuat siswa “tampak jujur” namun rapuh ketika memasuki dunia kerja yang sudah mengintegrasikan AI.


Yang dibutuhkan adalah etika dan tata kelola yang konkret, bukan moral panik. Prinsip-prinsip praktisnya bisa dirumuskan sebagai berikut. Pertama, transparansi kontekstual: di ruang akademik tertentu, penggunaan AI harus dinyatakan (misalnya untuk proofreading, brainstorming, atau drafting), karena penilaian berhubungan dengan proses belajar. Kedua, verifikasi sebagai kewajiban: setiap klaim faktual dari AI harus dicek silang pada sumber primer atau rujukan kredibel. Ketiga, batas data: informasi sensitif tidak boleh dimasukkan ke sistem yang tidak terjamin keamanan dan kepemilikannya. Keempat, akuntabilitas penulis: apa pun bantuan yang dipakai, manusia tetap bertanggung jawab atas konsekuensi teks. Kelima, desain asesmen dan standar kerja: institusi harus menilai kemampuan yang relevan—argumentasi, penalaran, dan integritas—bukan sekadar keterampilan menghasilkan paragraf.


Pada akhirnya, kita perlu keberanian untuk mengakui bahwa “menulis” tidak suci karena ia sulit. Nilai menulis bukan pada penderitaan prosesnya, melainkan pada ketepatan berpikir, kedalaman pertimbangan, dan tanggung jawab terhadap kebenaran. Jika AI membuat sebagian aspek teknis lebih mudah, itu bukan otomatis degradasi. Ia menjadi degradasi hanya bila manusia menyerahkan akal budi, berhenti memeriksa, dan menjadikan kelancaran bahasa sebagai pengganti kebenaran. Sikap anti-AI total sering gagal melihat perbedaan ini; ia mengira menjaga kesulitan sama dengan menjaga kualitas.


Zaman sedang menulis balik kepada kita: ia menuntut literasi baru, bukan nostalgia. Menolak AI secara total mungkin terasa seperti menjaga kemurnian, tetapi dalam praktiknya ia sering hanya cara elegan untuk menolak beradaptasi, mempertahankan status, dan menghindari kerja institusional yang lebih sulit: merancang aturan, membangun kompetensi, dan menata relasi kuasa di ekosistem digital. Masa depan penulisan bukan tanpa manusia; masa depan penulisan adalah manusia yang dituntut lebih bertanggung jawab, karena ia kini memiliki mesin yang dapat memperbesar kebodohan sekaligus memperluas kecerdasan. Pilihannya bukan “AI atau manusia”. Pilihannya adalah apakah kita cukup sadar zaman untuk memimpin perubahan, atau hanya cukup takut untuk memusuhinya.

[Tn. Abdul Kareem]

***